Ads Right Header

Buy template blogger

Hari Pertama ICHELAC 2025 Soroti Kekerasan Bahasa dan Misi Gereja Indonesia ke Belanda

Foto tangkapan layar saat konferensi

Editor: Tim Redaksi

Ruteng, PIJAKAN rakyat— Hari pertama The 5th International Conference on Humanities, Education, Language, and Culture (ICHELAC) 2025 menghadirkan dua pembicara kunci yang membahas isu-isu global kontemporer: kekerasan bahasa dalam lanskap digital dan fenomena misi Gereja Katolik Indonesia ke Belanda.

Kekerasan Bahasa di Era Digital: Perspektif Linguistik Forensik

Prof. Dr. I Wayan Pastika dari Universitas Udayana tampil sebagai pembicara utama pertama dengan presentasi bertajuk “Language Violence and Language Crime in Indonesia”. 

Ia menyoroti fenomena kekerasan verbal yang kerap terjadi di media sosial namun belum diakomodasi secara memadai dalam hukum.

“Ucapan yang mengandung pelecehan seksual, hoaks, ancaman, hingga ujaran kebencian dapat menjadi bentuk kejahatan bahasa yang nyata dan melukai secara sosial,” tegasnya. 

Ia merujuk pada data Kementerian Kominfo (2021) yang mencatat bahwa 63% aduan publik terkait pencemaran nama baik, 40% terkait pornografi, dan 35% menyangkut isu SARA.

Prof. Pastika menekankan pentingnya pendekatan linguistik mikro dan makro—mulai dari fonologi hingga pragmatik—untuk mengurai makna tersembunyi dalam teks yang bisa dijadikan bukti hukum. Ia juga menyerukan kolaborasi antara disiplin linguistik, hukum, dan etika sosial dalam menghadapi dinamika komunikasi digital.

Misi Terbalik: Gereja Indonesia Menjawab Krisis Sekularisasi di Belanda

Pembicara kunci kedua, Dr. Fransiska Widyawati dari Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng dan Visiting Fellow di KITLV Leiden, Belanda, mengangkat tema “Reverse Mission to a Secular Country: Indonesian SVD Missionaries in the Netherlands”. 

Ia membahas fenomena unik misi Katolik dari negara Selatan ke Utara, khususnya dari Indonesia ke Belanda.

“Mereka datang bukan sekadar untuk berkarya, tetapi untuk menghidupkan kembali harapan dalam komunitas gereja yang nyaris sepi,” jelas Dr. Fransiska. 

Penelitiannya menunjukkan bahwa sejarah kolonial, karakter misi global ordo SVD, serta realitas sekularisasi menjadi konteks penting dalam gerakan ini.

Meski menghadapi tantangan budaya dan spiritual, para misionaris Indonesia mampu menciptakan ruang dialog dan memperbarui wajah Gereja Katolik di tengah krisis spiritual di Eropa.

BACA JUGA: ICHELAC 2025 Resmi Dibuka Rektor Unika Santu Paulus Ruteng: Gaungkan Peran Sentral Pendidikan Humaniora di Era Digital

ICHELAC sebagai Forum Intelektual dan Refleksi Global

Hari pertama ICHELAC 2025 menegaskan peran konferensi ini sebagai ruang refleksi akademik yang relevan dengan isu-isu kemanusiaan, bahasa, pendidikan, dan budaya. 

Dari kekerasan bahasa hingga dinamika misi lintas benua, ICHELAC menawarkan kontribusi penting dalam menjawab tantangan dunia yang terus berubah. (Redaksi PR

Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel