Makna Pancasila dan Toleransi di Indonesia, Refleksi Penting di Hari Lahir Pancasila
![]() |
Foto: Pancasila (Sumber: pixabay) |
Penulis: Ricardus Jundu; Editor: Tim Redaksi
Penulis adalah Dosen Unika Santu Paulus Ruteng
Tepa slira (Budaya Jawa), Lonto Torok, Bantang Cama (Budaya Manggarai) dan saling menghargai menjadi bukti bahwa keragaman bukan ancaman, melainkan kekuatan.
PIJAKAN rakyat- Setiap tanggal 1 Juni, masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila sebagai momen penting untuk kembali merenungi nilai-nilai dasar negara.
Peringatan ini bukan hanya seremonial tahunan, tapi sebuah refleksi mendalam atas semangat kebangsaan dan toleransi yang menjadi pondasi Indonesia sejak awal berdirinya.
Pancasila bukan muncul begitu saja. Ia lahir dari perenungan panjang para pendiri bangsa yang memahami betapa beragamnya masyarakat Indonesia. Dalam pidatonya di BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno merumuskan lima sila yang tidak hanya menjadi dasar negara, tetapi juga menanamkan semangat toleransi sebagai ruh dari setiap prinsipnya.
Kelima sila, dari Ketuhanan hingga Keadilan Sosial, menjadi bukti nyata bahwa Pancasila dibangun atas nilai-nilai inklusivitas dan kemanusiaan yang berakar kuat dalam budaya kita.
Toleransi dalam Pancasila bukan nilai yang diimpor dari luar, melainkan cerminan asli dari jati diri bangsa. Sejak masa Majapahit dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", hingga tradisi gotong royong dan musyawarah dalam masyarakat, kita sudah lama hidup berdampingan dalam perbedaan.
Nilai seperti tepa slira (budaya Jawa), lonto torok, bantang cama (budaya Manggarai) dan saling menghargai menjadi bukti bahwa keragaman bukan ancaman, melainkan kekuatan.
Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", menegaskan pentingnya penghormatan terhadap perbedaan keyakinan. Indonesia tidak memaksakan satu cara beragama, melainkan memberi ruang bagi setiap agama dan berbagai kepercayaan lokal untuk hidup berdampingan. Ini adalah bentuk nyata toleransi yang aktif dan inklusif.
Lalu pada sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", Pancasila menegaskan bahwa toleransi bukan sekadar membiarkan perbedaan, tetapi juga memperjuangkan hak setiap orang untuk diperlakukan adil. Di sinilah letak pentingnya melindungi kelompok rentan dari diskriminasi, demi menjamin kehidupan yang bermartabat bagi semua.
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", mengajarkan bahwa perbedaan tak harus disatukan secara paksa. Justru dari keberagaman itulah tumbuh kekuatan nasional, selama dibangun di atas dialog dan saling pengertian. Identitas lokal dan nasional bisa hidup berdampingan jika ada semangat toleransi yang kokoh.
Dimensi demokrasi dalam sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan", memperlihatkan bagaimana perbedaan pandangan diselesaikan melalui musyawarah. Prinsip ini menunjukkan bahwa semua suara punya nilai dalam proses pengambilan keputusan bersama.
Sedangkan sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", menutup rangkaian dengan menegaskan bahwa toleransi sejati harus diwujudkan dalam keadilan nyata. Setiap warga berhak atas akses yang setara terhadap kesempatan dan sumber daya, toleransi bukan hanya sikap, tapi harus berdampak secara struktural.
Dalam praktiknya, toleransi ala Pancasila dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Contohnya, kerja bakti lintas agama, open house saat Lebaran atau Natal, dan perayaan keagamaan bersama di berbagai daerah. Semua itu bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan hidup dari semangat gotong royong dan saling menghormati.
Namun, di tengah era digital dan globalisasi, tantangan terhadap toleransi semakin besar. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga ideologi ekstrem di media sosial berpotensi merusak harmoni sosial. Karena itu, nilai-nilai Pancasila harus terus disosialisasikan secara kreatif dan relevan dengan perkembangan zaman.
Pendidikan menjadi kunci utama. Integrasi nilai-nilai Pancasila dalam semua mata pelajaran, bukan hanya di Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, tentunya akan menanamkan karakter toleran sejak dini. Generasi muda perlu dilatih berpikir kritis terhadap intoleransi, serta dibekali kemampuan berdialog dan menghargai keberagaman.
Media massa dan platform digital juga punya peran besar dalam menyebarkan narasi positif. Konten-konten yang mengangkat keberagaman dan toleransi harus diperbanyak untuk menyeimbangkan gelombang informasi negatif. Literasi digital masyarakat pun perlu terus ditingkatkan.
Hari Lahir Pancasila adalah saat yang tepat untuk memperkuat kembali komitmen kita terhadap toleransi sebagai wajah asli bangsa Indonesia. Toleransi bukan warisan mati, tapi amanah hidup yang harus kita rawat dan wariskan.
Dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, mari kita jadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun Indonesia yang damai, adil, dan beradab. Pancasila dan toleransi adalah dua hal yang tak terpisahkan, keduanya adalah identitas luhur bangsa yang wajib kita jaga bersama. (Redaksi PR)